RSS

Cerpen

09 Mei

THE ROCKER GOES TO SINDEN

Oleh Amelia Indraswari

Ki Dalang Mangunkusumo telah menghabiskan lebih dari separo hidupnya untuk mengabdikan kecintaan sekaligus keprihatinannya terhadap semakin memudarnya kebudayaan asli bangsa Indonesia itu. Tak pernah sedikitpun ia berharap bahwa publik mengingat dan mengagung-agungkan namanya sebagai seorang pelestari kebudayaan Jawa.

Ia hanyalah orang desa berpikiran sederhana yang menggunakan semua uang warisan peninggalan kedua orang tuanya untuk membangun Padhepokan Bodronoyo ini. Di saat orang hanya berpikir tentang uang, uang, dan uang, ia berani mengambil jalan lain yang tidak mudah. Padhepokan ini memang tak pernah memberinya kekayaan, tetapi senyum tulus yang dilihat setiap kali melihat murid-murid memainkan gamelan, wayang ataupun menari, itu telah membuatnya bahagia. Asalkan banyak orang datang dan bergabung di Padhepokan, itu sudah membuat ia merasa ingin hidup 1000 tahun lagi walau harapan itu dari hari ke hari semakin terpupuskan.

*

Ki Dalang meraba wayang Srikandi yang dulu sering ia pentaskan dengan lakon Srikandi Meguru Manah. Pria tua ini tiba-tiba terbatuk keras sekali sehingga ia harus menutup mulutnya dengan tangan namun buru-buru dimasukannya tangan itu ke dalam saku celana tatkala menyadari ada sesosok gadis berambut panjang yang berjalan ke arahnya.

“Wajah Bapak pucat sekali. Bapak lagi gerah, nggih?”

“Sri, Bapak berharap banyak padamu…” Ki Dalang tidak menjawab pertanyaan Srikandi.

Srikandi mendesah. “Tapi Sri juga punya mimpi, Pak. Mas Punto, Mas Bimo sama Mas Dewo juga nggak ada yang mau meneruskan Padhepokan ini, lantas kenapa harus Sri, Pak?”

“Orang itu mencintai seni, Sri, sehingga mau melakukan apa pun demi kecintaannya dan Bapak ndak mungkin mewariskan Padhepokan ini kepada orang lain. Kakang-kakangmu ndak ada yang peduli lagi sama nasib Padhepokan ini. Wis, sesuk siap-siap. Saiki turunen.”

“Pak, besok Sri ada lomba band. Uangnya juga lumayan kalau menang. Sri nggak bisa nyinden lagi karena Sri nggak suka.”

“Bapak ngerti, dadi seniman itu ndak bisa memberi uang yang banyak, tur sapa lagi yang bisa diharapkan jadi pewaris kebudayaan Jogja. Bapak ki prihatin Wong Londo seneng sinau gamelan, tapi orang-orang Jogja asli malah ndak mau dan gaya-gayaan seperti orang bule. Zaman cen wis edan. Apa-apa tertukar. Lagu-lagu asing itu yang membuat kamu ndak mau nyinden lagi, padahal jelas-jelas besok semua orang nunggu aksi kamu yang dulu terkenal sebagai seorang sinden cilik. Nduk, panggilan pementasan sudah ndak sesering dulu. Uangnya itu juga untuk nyangoni kamu ke Jakarta. Kalo ndak gitu, Bapak sudah ndak bisa kasih uang lagi. Bapak itu rela ndak makan demi kamu dan bapak cuma bisa berharap, kamu jadi orang sukses selepas SMA di Jakarta terus bisa mengangkat padhepokan ini jadi lebih maju.”

Srikandi buru-buru pergi untuk menyembunyikan air mata kekecewaannya dan Ki Dalang hanya bisa memandangi Srikandi yang telah beranjak dewasa sekarang dan selama itulah ia selalu menurut apa yang dikatakannya. Terkadang, ada gurat-gurat tertekan yang tergambar tetapi Ki Dalang membuang semua sangkaan itu. Ia selalu meyakinkan dalam hati bahwa apa yang dilakukannya mendatangkan kebaikan bagi Sang Anak. Perlahan, ia pun mengeluarkan foto Srikandi dari dalam kantong celananya. Ki Dalang berusaha membersihkan bercak merah yang menempel namun bercak itu terlanjur mengering.

*

“Anak perempuan itu ndak usah sekolah tinggi-tinggi, toh nanti balik ke dapur-dapur juga. Lulus SMA, kamu langsung nikah, ya? Bapak mau jodohkan kamu sama anaknya Pakdhe Harjo. Dia itu sahabat bapak. Dulu, kamu lahirnya sama seperti anaknya, terus Bapak dan Pakdhe Harjo sepakat menjodohkan kalian berdua. Makanya dia dikasih nama Arjuna sementara kamu Srikandi. Biar kalian bisa jadi suami-isteri seperti lakon Arjuna-Srikandi di pewayangan. Pakdhe Harjo itu pedagang sukses dan kamu mesthi sowan ke rumahnya yang megah kalau sudah sampai Jakarta. O ya, ini fotonya Juna. Dia juga sudah Bapak kasih foto kamu. Gagah tho?” ucap Bapak senang sembari menyerahkan foto Arjuna. Dada Srikandi naik turun menahan amarah kemudian pergi meninggalkan Ki Dalang sembari menarik foto Arjuna dengan kasar.

“Sri, mau kemana kamu?” Ki Dalang buru-buru mengejar Srikandi.

Srikandi tak menjawab. Ia menyobek-nyobek foto itu tanpa melihatnya terlebih dahulu.

*

Di depan juri dan ratusan penonton, Srikandi berusaha menyenandungkan lagu Ignorance seekspresif  mungkin namun ia terus teringat pada pementasan bapaknya. Antara kesal dan gelisah sebenarnya jika mengingat semua ini. Kesal, karena ia merasa tak tega meninggalkan bapak dan gelisah karena ia tak bisa berkonsentrasi pada penampilannya.

“Ndi, kamu kenapa, sih? Tone kamu banyak yang meleset, Kamu mau kita kalah apa?” bisik Wiwid ketika mereka semua turun panggung.

Sorry guys, aku nggak bermaksud seperti itu,” jawab Srikandi dengan tatapan sedih .”…kalian harus cari vokalis baru karena aku mau pindah ke Jakarta. Kabarin ya, kalo menang. Aku mau ke pementasan bapakku.”

Teman-teman Srikandi pun hanya bisa menatap iba kepergiannya. Tanpa diceritakan pun, mereka semua sudah tahu apa yang lagi harus dijalani secara terpaksa oleh gadis tomboy itu. Akhirnya, mereka hanya duduk terdiam sampai juri mengumumkan pemenang yang tidak menyebut nama grup mereka sama sekali.

*

“Pak,” Srikandi berdiri di depan Ki Dalang Mangunkusumo yang tertunduk lesu di belakang panggung. Ia menatap kaget ke arah anak gadisnya itu.

Bak sebuah metamorphosis, Srikandi- masih dengan nafas terengah-engah- telah mengganti kemeja Aerosmith-nya dengan kebaya, menghias wajahnya dengan make up tebal dan menata rambutnya dengan sanggul.

“Kesorean ya, Pak?” Srikandi bertanya sembari menarik kain jariknya sampai ke lutut. Ia sebenarnya benci sekali memakai rok atau kain.

Ki Dalang hanya menjawab dengan senyuman.

*

Hari yang dinanti-nanti Srikandi pun tiba. Di Jakarta, adik Ki Dalang yang bernama Bulik Tatik menyanggupi untuk menyekolahkan Srikandi sampai tamat SMA. Buliknya itu hidup menjanda dan tidak memiliki seorang anak pun. Ia merasa kasihan pada nasib Srikandi yang hendak dinikahkan cepat-cepat jika tidak bisa melanjutkan sekolah.

” Pak, Sri pamit nggih. Maaf kalau selama ini sering bicara kasar dan ndak nurut sama Bapak. Sri cuma pingin Bapak ngerti apa yang Sri mau.”

Ki Dalang menahan tangis mendengar perkataan putri kesayangannya itu. Ia tak mampu berkata apapun karena takut Srikandi melihat air matanya.

*

Tiga tahun kemudian…

Ki Dalang terpekur memandangi surat terakhir yang Srikandi kirimkan dua tahun lalu. Bahkan telepon dan sms juga jarang ditanggapi. Awal Srikandi ada di Jakarta, ia masih sering membalas surat-suratnya dan meneleponnya. Tetapi seiring waktu berlalu, hal itu sudah tak pernah dilakukannya lagi. Pulang kampung pun jarang. Ki Dalang cemas karena takut Srikandi berubah menjadi gadis pemberontak ketika kembali nanti.

Ki Dalang memegangi sakit di dadanya yang akhir-akhir ini semakin tak tertahankan. Ia perlahan-lahan bangkit, mengambil sebuah kertas dan pena, lalu menuliskan bait demi bait kata dengan penuh ketulusan.

Batuk kembali meradang dan tanpa sadar Ki Dalang memercikkan noda-noda merah ke atas kertas yang sedang ditulisnya namun  tiba-tiba Sadewo datang dengan wajah cemas. Ia hendak mengabarkan sesuatu tetapi tidak jadi karena Ki Dalang keburu pingsan.

*

“Jangan lupa suratnya dibaca ya, Sri. Mungkin ada hal penting,”

“Ahh, paling isinya cuma nyuruh nikah,” sahut Srikandi acuh tak acuh. Ia melempar surat itu ke tempat tidur.

“Sri, Bulik benar-benar nggak tahu Bapak mu akan bertindak seperti apa jika melihat kamu sekarang.” Setelah berkata demikian, Bulik Tatik meninggalkan Srikandi yang termangu di depan cermin. Benar, apa yang akan dikatakan bapak jika melihat dirinya sekarang? Rambutnya yang dulu lebat dan panjang terurai kini tanpa ragu ia potong sampai cepak seperti apa yang diinginkan dulu. Tak perlu lagi memakai rok, baju panjang, dan bertindak se-feminim mungkin. Sekarang pun ia sudah bekerja dan menabung untuk biaya kuliah. Tak ada lagi yang namanya terkurung dalam belenggu keinginan bapak.

Srikandi menarik nafas dalam-dalam. Ia melirik surat tadi dan ada satu perasaan yang menelisik relung sanubarinya untuk membaca surat itu namun ia terhenti. Sudah waktunya untuk bekerja malam ini dan ia memutuskan untuk membacanya setelah pulang nanti.

*

Brown Café, 21.30

Srikandi beristirahat di balik stage. Entah mengapa sedari tadi ia terus teringat pada surat bapaknya. Srikandi tanpa sadar pun melamun sambil memegangi gelas minumannya yang tak diteguknya sedikit pun.

“Srikandi?” tegur sebuah suara yang terdengar di”manis-manis”kan. Srikandi mendongak malas dan melihat seorang pria flamboyan yang menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Dia lagi…,” pikir Srikandi malas. Ia hendak beranjak.

“Sebentar, Cantik.” Laki-laki itu memegang tangan Srikandi erat sekali. Berusaha untuk sopan, Srikandi mencoba melepaskan tangannya pelan-pelan. “…saya mau balik ke stage,” jawab Srikandi kaku.

“Sebentar aja. Kamu bikin penasaran sih.” Pria itu memaksa dan Srikandi benar-benar tak bisa melepaskan tangannya. Ia kesal sekali karena lelaki genit ini memandangnya dengan tak sopan. Srikandi pun membuang wajahnya ke arah lain dan berharap pria itu bosan, lalu meninggalkannya.

“Hei, nggak usah sok mahal gitu deh.” Pria yang bahkan Srikandi tak tahu namanya itu pun, merayu sembari mengelus pahanya. Terang saja Srikandi marah dan menyiramkan isi minumannya ke wajah pria itu.

“Jangan kurang ajar sama saya. Saya bukan cewek gampangan!” Srikandi pun melemparkan gelas ke arah pria berusia 30 tahunan itu namun ia berhasil menghindar.

Tiba-tiba pemilik kafe datang dan bertanya dengan nada tinggi kepada Srikandi, namun belum sempat Srikandi menjawab, om-om genit itu sudah mendahului dengan berkata,” Srikandi gila, Pak. Saya baik-baik menawarinya minuman, tetapi dia malah melempar saya dengan gelas.”

Makian kasar berhamburan dari mulut Srikandi. Wajah pemilik kafe pun menjadi merah padam dan ia menyuruh Srikandi ke ruangannya.

“Maafkan penyanyi saya, Pak.” Pemilik kafe berkata dengan wajah menunduk- menahan malu. Laki-laki genit itupun berlalu cepat-cepat sembari menatap puas ke arah Srikandi.

*

Dengan kesal, Srikandi menghapus air matanya. Hari ini sungguh sial. Hatinya berbisik, apa mungkin  karena tuah surat-surat bapaknya yang tidak pernah ia baca? Kebanyakan perempuan mungkin bangga memperlihatkan tubuhnya dengan busana minim, tetapi dia yang mencoba untuk menjaga harga diri, malah diperlakukan secara tidak adil.

“Kamu dipecat,” ucap Bos Srikandi ketus.

“Tapi saya tidak salah, Pak. Laki-laki itu yang berbuat tidak sopan kepada saya!” tukas Srikandi nyaring.

“Saya tidak peduli siapa yang salah. Tetapi yang jelas, kamu sudah mencemarkan nama baik kafe ini dengan berbuat tidak sopan. Saya sebenarnya kasihan sama kamu. Masih SMA sudah pontang-panting cari uang. Kalau kamu mau diajak kencan, pasti kamu akan dapat uang lebih banyak. Ini uang gaji kamu bulan ini,” marah Si pemilik kafe sembari melempar berlembar uang seratus ribuan.

“Saya bukan pelacur, Pak. Bapak yang telah membuat saya seolah-olah menjadi wanita jalang dengan busana minim yang Bapak paksa saya untuk kenakan. Bapak sama saja seperti laki-laki itu yang hanya bisa menghargai wanita dari tubuhnya saja!”

“Heh, nggak usah sok suci kamu, ini Jakarta!” teriak mantan bosnya tapi Srikandi berjalan pergi tanpa menyentuh uang itu sedikitpun.

Srikandi kembali menghapus air matanya. Tak ada gunanya lagi menangis karena hanya akan menunjukkan bahwa ia lemah menghadapi semua masalah. Untuk pertama kalinya, Srikandi baru menyadari bahwa jerih payahnya tak berarti sama sekali. Saat ia terkantuk-kantuk di sekolah, membolos, nilai ulangan yang jatuh. Ini semua tentu tidak perlu terjadi jika ia menurut pada apa yang dikatakan bapaknya.

*

“Srikandi mau pulang pagi ini juga ke Jogja,” ujar Srikandi setelah bercerita singkat kepada Bulik Tatik tentang kesialannya malam ini.

“Kamu sebaiknya istirahat dulu ya apalagi baju kamu terbuka seperti ini. Nanti kamu bisa sakit,” ucap Bulik Tatik sambil mengelus pundak Srikandi yang sedingin es dan meninggalkannya untuk beristirahat.

Srikandi termangu di tepi tempat tidurnya selama beberapa saat, lalu ia melepas pakaiannya dengan kesal. Diambilnya gunting dan dirobek-robeknya pakaian itu hingga tak berbentuk lagi.

“Aku menyerah, Pak…” desah Srikandi sembari melepar gunting itu ke lantai.

*

Hari itu masih teramat pagi ketika Ki Dalang harus menemui tamu-tamu yang sama untuk kesekian kalinya. Wajahnya masam.

“Saya sudah bilang, mau kalian tawar seberapa besar pun tanah ini, tetap tidak akan saya jual! Saya lebih baik mati daripada tanah ini dijual kepada orang-orang berotak kapitalis seperti kalian. Saya tidak sudi tanah ini akan dibangun taman hiburan modern! Anak saya akan datang dan mengurus padhepokan ini menjadi lebih maju” Tanpa basa-basi lagi, ia berbicara dengan nada membentak dan meninggalkan mereka begitu saja.

“Baiklah, kami sudah mencoba berunding dengan jalan damai, tetapi Pak Mangun tetap tidak mau negosiasi. Bilang sama bapak kalian, harap sopan sama tamu. Kami itu sudah cukup sabar menghadapi orang tua kolot seperti dia.”

“Hei, jangan kurang ajar sama bapak saya,” sergah Sadewo marah tetapi ketiga laki-laki berjaket hitam tebal itu pergi tanpa menoleh lagi.

*

Ki Dalang Mangunkusumo mendekap foto Srikandi erat-erat. Tetes demi tetes air mata mulai membanjiri pipi. Tak kuat lagi paru-paru tuanya menghirup asap hitam yang kian menyelimuti ruangan. Ia hanya bisa menatap nanar ke arah kobaran api yang terus menjilat. Asap membubung tinggi- menyesakkan dada- namun ia tak bergeming. Ki Dalang terbatuk dengan keras, tak bisa berhenti. Darah pun menetes- mengenai foto Srikandi yang sebelumnya telah berlumur dengan bercak serupa. Ia benar-benar tak ingin keluar kamar karena teringat pada janjinya yang lebih baik mengharap kematian datang menjemputnya daripada harus meninggalkan tempat ini.

Api pun mulai menjilati tubuh tuanya.

*

“Bapaaaakk….” Srikandi terjaga dari tidurnya. Ia baru menyadari bahwa ini semua hanya mimpi. Teringat surat terakhir bapaknya yang membuat ia penasaran, Srikandi pun buru-buru mengeluarkannya. Surat itu begitu pendek dengan beberapa kata yang kabur karena tertutupi bercak-bercak merah. Isinya yang belum selesai membuatnya ingin segera bertemu Bapaknya untuk bertanya kelanjutan surat itu. Hatinya sungguh gelisah sehingga memaksakan diri naik kereta pagi ini juga walau kepalanya terasa pening.

*

Srikandi menatap nanar semua yang ada di depannya.

“Bapak mana … Bapak mana …”

“Sri …” Sadewo memeluk adiknya erat-erat. “… kamu yang kuat, ya. Bapak … Bapak … ndak sempat menyelamatkan diri.”

Tangis Srikandi meledak seketika. Mimpi itu semuanya benar. Semuanya.

*

“Polisi bilang ini perbuatan yang disengaja. Pasti ada kaitannya dengan pemborong itu.”

Bimo berbicara dengan nada marah di depan saudara-saudaranya yang lain, sementara Srikandi hanya terdiam. Air matanya masih menggenang di pelupuk mata walau hari ini adalah hari ketujuh tahlilan Ki Dalang.

“Pembunuh bapak itu ya Sri.” Dia berbicara lirih sekali, lalu meletakkan surat yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja.

“Sri, kita semua disini ndak tahu bapak ternyata sakit kanker paru-paru stadium dua. Sehari setelah kebakaran, ada murid bapak yang menceritakan  semuanya. Dia yang mengantarkan bapak ke rumah sakit. Bapak ndak mau kita tahu karena takut kita jadi sedih. Bapak selalu memikirkan kita, tapi kita sendiri ndak pernah memikirkan bapak. Kita semua membunuh bapak pelan-pelan,” tukas Puntodewo muram.

“Asal kamu tahu, bapak bilang kalau dia lebih baik mati daripada jual tanah ini karena percaya kamu pasti menjalani kehidupan sesuai apa yang diminta. Tapi nyatanya, ndak kan Sri? Liat saja rambutmu sekarang. Kalau bapak masih hidup, dia pasti kecewa melihat anak yang paling diharapkannya menjadi seperti ini,” ucap Bimo menyudutkannya. Srikandi lalu pergi dan memilih untuk duduk menyendiri sembari membaca surat itu berulang-ulang.

“Sri, maaf ya, kalau aku baru bisa datang tahlilan sekarang.”

Srikandi menoleh,” Siapa, ya?”

Laki-laki itu kemudian duduk di sebelahnya. “Aku Arjuna dan aku mengenalimu dari foto yang Ki Dalang kirimkan padaku.”

Srikandi terdiam. Ia teringat foto Arjuna yang langsung disobek tanpa dilihatnya terlebih dahulu.

“Itu surat siapa, Sri? Kok banyak noda merahnya?”

“Surat dari bapak dan aku nggak pernah tahu kelanjutannya apa.”

“Boleh aku baca? Aku sudah tahu semuanya dari bapakku,” jawab Arjuna sembari mengambil surat itu dari tangan Srikandi. Ia mulai membaca.

Srikandi, anakku sayang.

Bapak ingin hidup 1000 tahun lagi tapi raga ini tentu saja tak mampu menahan jalannya takdir. Namun kau harus percaya bahwa asa yang tertempa di sanubari terdalam akan selalu menyala di jiwamu jika kau bergerak. Bila kau membaca surat ini di saat raga kita tak mungkin bersua lagi, kau bisa menemui Bapak dalam setiap angan yang kita rajut bersama. Aku tak pernah bermaksud mengekangmu, tetapi aku berusaha

Surat itu berakhir. Arjuna tersenyum dan berkata dengan nada lembut, “Bapakmu mengharapkanmu lebih dari yang kamu kira. Aku yakin, sekeras apa pun seorang ayah memperlakukan anaknya, di dalam hati yang terdalam, ia hanya ingin memberikan yang terbaik. Memang ego manusia itu adalah hal yang paling sulit ditaklukkan, Tapi kalau masing-masing mau mengerti, dinding tebal yang memisahkan kalian berdua pasti runtuh. Mungkin Pak Mangun sekarang sudah tidak bisa kamu temui secara nyata namun kamu bisa menemuinya di dalam setiap mimpi yang belum selesai ia bangun. Pak Mangun menitipkan semuanya di pundakmu karena ia percaya kamu mampu.”

Srikandi tersenyum. Ia memegang tangan Arjuna dan berkata,” Terima kasih. Terima kasih banyak untuk semuanya…”

EPILOG

12 tahun kemudian …

“Seni memang berkembang dan kita tidak bisa terus menerus dipaksa untuk menikmati seni tradisional tetapi juga bukan berarti kita tidak peduli lagi dengan warisan leluhur. Jika kekayaan bangsa dicuri, barulah kita marah dan menghujat, namun pernahkah kita memikirkan apa yang telah dilakukan untuk menjaganya? Tanggung jawab ini ada di pundak kita semua.”

Sekelumit pidato tersebut dikemukakan Srikandi di depan para tamu undangan saat perayaan hari jadi kota Yogyakarta. Ini belum terlambat untuk membangun mimpi-mimpi bapaknya dengan caranya sendiri. Ia menjadi pemerhati dan pendiri organisasi Pecinta Seni di Yogyakarta. Mementaskan pewayangan, datang ke sekolah untuk mengenalkan kesenian Yogyakarta, mengkombinasikan seni modern dan tradisional, serta sejuta kegiatan lain yang bahkan lebih dari apa yang bapaknya harapkan. Ia ingin menebus semua penyesalannya atas peristiwa kebakaran 12 tahun silam dan bahkan tak berniat untuk mengurusi pengadilan si pelaku yang nyatanya memang benar adalah pemborong dan anak buahnya itu. Srikandi hanya ingin membangun dinding-dinding angan bapaknya yang sempat ia hancurkan dulu.

Seusai pidato, Srikandi menemui Arjuna sembari tersenyum tulus,” Bapak ternyata tidak salah memilihkan jalan hidup untukku dan semua orang yang ada di dalamnya. Aku puas melakukan semua ini demi Bapak.”

Arjuna hanya tertawa karena dia tersanjung Srikandi merasa tak salah memilihnya.*

Amelia Indraswari, Mahasiswi Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Mei 2011 inci Cerpen Indonesia

 

Tinggalkan komentar