RSS

cerpen

09 Mei

KENANGAN DI ALBUM FOTO

Oleh Monica Stella

Kupandangi tumpukan album foto itu. Album-album foto yang sudah usang, termakan usia. Yah! Usang namun tetap terjaga rapi. Dengan sampulnya yang masih terlihat keapikannya, dengan setiap lembarannya yang sudah menguning menandakan usia album itu, album-album itu terlihat seperti benda kuno bersejarah yang terawat dengan sempurna. Namun apabila kalian perhatikan dengan seksama dan cermat, album-album itu semakin sempurna dengan kehangatan yang memancar di setiap lembarannya, karena di setiap ujung lembarannya terdapat tekukan-tekukan halus, tanda album itu telah sekian kali dibuka dengan kasih sayang oleh pemiliknya terdahulu, yang tidak lain  adalah ibuku.

*

Kuingat-ingat lagi masa kecilku. Aku bukanlah seorang anak yang termasuk dalam kategori dapat dibangga-banggakan, tidak seperti kakakku yang mempunyai segudang prestasi, tidak seperti kakakku yang mempunyai wajah cantik mengikuti garis wajah ibuku. Aku? Aku hanyalah Nol.  Aku tidak pintar. Tidak juga cantik, hanya tulisanku saja yang sedikit bagus. Wajahku mengikuti wajah almarhum Bapakku, yang keras, bukan Ibuku. Mulanya, aku tidaklah menaruh perhatian sama sekali terhadap hal itu, terhadap kata-kata kerabat-kerabat yang sering bertandang ke rumah, terhadap teman-teman yang selalu membandingkanku dengan kakakku, misalnya saja ‘Wah! Ratna kamu beda yah dengan Rena’ atau ‘Coba sekali-kali kamu contoh kakakmu, si Rena.’, karena ibu tak henti-hentinya menguatkan hatiku. Setiap kali aku bertanya padanya, ia akan selalu menjawab dengan tenang, dan jawabannya selalu saja dapat membuat hatiku kembali tenteram

“Bu, mengapa kakak lebih dalam segala hal dibandingkan aku? Aku sirik padanya!”

“Jangan sirik, Ratna. Kamu mempunyai kelebihanmu sendiri yang tidak dimiliki kakakmu.

“Bagaimana dengan tanggapan orang, Bu?” tanyaku.

“Yah, jangan kamu pikirkan apa kata orang, Na. Mereka kan tidak dan belum tahu bahwa kamu punya kelebihan, yang tidak dimiliki kakakkmu.”

Kata-kata  ibuku sudah menjadi pedomanku dalam menjalani hidup, hingga tak pernah sekali pun hatiku sakit oleh pandangan, kata-kata, dan anggapan orang yang menyiratkan perbandingan yang begitu besar antara aku dan kakakku. Namun, sungguh bodoh diriku percaya kata-kata itu untuk bertahun-tahun lamanya, hingga pada akhirnya kekuatan kata-kata itu runtuh, ketika seseorang yang sangat kusukai memanfaatkanku untuk mendekati kakakku, kata-kata itu tidaklah lagi bermanfaat  layaknya obat yang menenangkan, malah sebaliknya, sebagai racun yang menggerogoti hatiku, membuat pendirian yang telah kubangun selama ini menjadi goyah.

Hatiku rapuh, hari demi hari. Perbandingan yang selalu kuterima, dan  tatapan tidak percaya dari orang-orang kalau aku adalah adik dari Rena, seorang putri yang lebih dalam segala hal, sikap, perilaku, dan tentunya paras, justru semakin membuat hatiku jatuh ke lubang kelam yang semakin lama, semakin dalam, mengikis setiap saat. Setiap kali ibu menenangkanku, pastilah kujawab dengan kata-kata kasar. Kata-kata yang paling kuingat adalah ‘seharusnya ibu tidak melahirkan aku !’ yang dijawabnya dengaan tamparan di wajahku.

Kuingat lima tahun yang lalu, saat aku berumur 19 tahun, setelah tamparan itu, aku melarikan diri dari rumahku, meninggalkan keluarga, teman, serta pendidikanku karena lelah dibanding-bandingkan dengan kakakku, walau bukanlah ibu yang membandingkanku. Aku muak dengan semua itu, Aku juga muak dengan ibu, walau sampai sekarang aku tidak begitu jelas apa alasanku hingga muak pada ibuku sendiri. Bukan karena tamparan yang kuterima, mungkin karena ibu selalu berusaha menguatkanku padahal kenyataannya aku memanglah Nol, aku tidak punya hal yang dapat kubanggakan. Tidak sama sekali. Tidak seperti kakakku yang memiliki segalanya.

Aku pergi dari wilayah amanku, Solo, ke Jakarta, daerah yang penuh dengan hingar-bingar dunia malam, daerah yang ramai akan kejahatan. Sudah setiap kali ibu mengingatkanku bahwa Jakarta adalah tempat di mana banyak terdapat kejahatan. Namun hal tersebut tidak lantas menyurutkan keteguhanku untuk kabur dan merantau ke Jakarta.  Kupikir dengan pergi ke Jakarta, aku akan mendapatkan tempat untuk diakui oleh orang banyak, memberitahu kepada dunia kalau diriku itu ada, dan penting, bukan tidak berarti sama sekali, namun ternyata hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi aku bukan seorang yang pintar.

Bertahun-tahun aku bekerja serabutan, seperti part-time menjadi cleaning service, waitress dan sebagainya, sampai suatu ketika, ada seorang laki-laki yang menawari pekerjaan sebagai model dengan syarat tertentu kepadaku, kupikir inilah titik terangku, di mana aku akan memulai karirku yang gemilang. Kuiyakan begitu saja! Sungguh bodohnya diriku! Tidak lagi kupedulikan segala masalah, yang terpenting aku menjadi seorang model. Segala yang kupunya, mulai dari harta sampai kehormatanku telah kuberikan kepada lelaki itu, lelaki yang pernah menawari pekerjaan model kepadaku.

Kutunggu berbulan-bulan kabar akan pekerjaan baruku sebagai model, namun kabar itu tak kunjung datang, dan tak akan pernah datang. Baru kutahu kalau semua itu hanyalah bohong belaka, aku tidak menjadi model, apalagi lelaki itu juga tidak lagi menghubungiku, dia telah lari dengan perempuan lain, aku telah dibuang. Tidak ada yang tersisa padaku, pekerjaanku sebagai model yang memang tak pernah ada, dan yang terparah adalah tidak adanya harga diri dan kehormatan yang tersisa ditubuhku ini. Hatiku hampa.

“Ratna!” teriak seorang perempuan dengan ciri-ciri yang sangat kukenal. Begitu cantik, begitu bersinar, dialah kakakku.

“Ratna! Kamu bikin kami semua khawatir.” peluknya disertai air mata yang sudah menetes di wajah halusnya. Pelukannya tidaklah kubalas. Entah karena kaget tentang keberadaannya di Jakarta atau karena hatiku yang masih sakit hati terhadapnya.

“Ratna, sudah dua tahun kami semua mencarimu. Kamu bikin kami semua khawatir. Kamu pergi begitu saja hanya meninggalkan sepucuk surat tentang keberangkatanmu yang tak kau sebutkan tempatnya. Untung saja minggu lalu ada temanku yang ke Jakarta mengatakan kalau dia melihatmu di Jakarta, bekerja di daerah Pluit. Akupun langsung pergi dari Solo ke Jakarta untuk melihatmu. Sebenarnya ibu ingin ikut ke Jakarta, namun kularang karena tubuhnya sudah renta. Akhirnya ibu menyuruhku untuk membawamu balik ke Solo. Ia sungguh kangen sama kamu, Ratna. Ayo kita balik ke Solo!” katanya sambil menggandeng tanganku, namun tanpa kusadari kutepis tangan itu yang dibalas dengan muka penuh kebingungannya.

“Kenapa Ratna? Ayo kita balik!” tanyanya dengan nada yang menyiratkan kebingungan.

“Nggak! Aku nggak mau! Aku sudah betah di sini. Aku sudah bekerja disini, kerjaku lumayan,” dustaku. Entahlah, pikiranku tidak sejalan dengan perkataanku. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya terjadi. Mengatakan perasaanku yang juga rindu akan rumah. Semua itu tertutup oleh sikap gengsiku, malu bertemu kerabat, teman, terlebih ibu.

“Ratna, ayolah! Ibu menunggu kita di rumah!” pintanya dengan memohon.

“Jakarta rumahku! Aku nggak punya rumah lagi selain di Jakarta,” teriakku.

“Ratna! Apa maksudmu? Rumah kita ada di Solo, bersama ibu.”

“Kita? Bukannya kamu! Selama ini aku nggak pernah dihargai sekali pun. Nggak sekali pun!”

“Apa-apaan kamu? Kita semua ngehargai kamu. Aku, juga ibu.”

“Alah! Aku tidak peduli, yang jelas aku tidak akan balik ke Solo.”

“Benarkah itu Ratna? Itu benar-benar keinginanmukah?” tanyanya, yang dijawab anggukan kepala dariku.

“Baiklah Ratna! Aku tidak bisa memaksamu jika itu benar-benar keinginanmu. Berita mengecewakan ini akan kusampaikan pada ibu, tapi biarkan aku tahu nomor teleponmu,” pintanya yang langsung kujawab dengan deretan angka nomor teleponku.

Setelah kejadian itu aku kembali bekerja, menjadi waitrees dan sebagainya, hingga untuk beberapa saat aku memikirkan apa yang telah kukatakan kepada Rena ‘Benarkah ini keinginanku yang terdalam? Berpisah dari ibu dan kakakku? Aku tidak tahu.’ Sudahlah, aku tidak dapat berbuat apa-apa, aku tidak boleh memikirkan apa-apa selain pekerjaan-pekerjaanku, karena hanyalah pekerjaan sederhana yang dapat membekali  kehidupanku di Jakarta walau hanya cukup untuk memberiku makan.

Tiga tahun kemudian setelah pertemuanku dengan kakakku, kakakku menelepon dari Solo. Isi teleponnya sama seperti pertemuan terdahulu, memintaku untuk kembali ke rumah, hanya saja dengan alasan yang berbeda. Ibu meninggal!

Seminggu telah berlalu semenjak kepergian ibu ketempat yang tidak dapat kujangkau dan semenjak kedatanganku ke Solo. Tidak seperti kakakku dan kerabat-kerabat lainnya, aku tidak menangis sebegitu parah saat peti ibu dimasukkan ke liang kubur untuk selama-lamanya. Tidak ada kata-kata yang kuucapkan sebagai pengiring kepergian ibu. Dan aku sekarang masih ada di Solo, menyiapkan keberangkatanku untuk kembali ke Jakarta di tengah hari yang hujan ini. Hujan yang menyiratkan kesedihan semua orang akan perginya seorang Karina Lesmana, ibu yang begitu pengertian bagi semua orang tidak hanya bagi keluarganya. Tapi di tengah bebenah untuk kepulanganku, kakak menghampiriku.

“Ratna, ini! Ibu menitip ini untukmu. Aku tak pernah tahu isinya, yang kutahu ibu selalu melihat ini dengan penuh kasih sayang sambil menangis,” kata kakakku memberikan album-album itu sambil menangis. Dan Iapun pergi.

*

Kubuka lembaran album itu satu demi satu. Sejarah kehidupanku seperti diputar kembali, dari semenjak aku anak-anak hingga remaja. Disamping foto-foto itu terdapat tulisan-tulisan halus seperti ’01 Oktober 1983, anak keduaku telah lahir! Seorang perempuan! Cantiknya dia, kuberi dia nama Ratna, semoga ia menjadi anak yang sehat dan bahagia dalam hidupnya.’ atau ’01 Oktober 1984, Ratna tepat berumur satu tahun. Lihat! Pintarnya ia sudah dapat merangkak sambil berkata bu.’ dan lain sebagainya. Banyak kenangan-kenangan yang kulupakan tentang ibu yang selalu ada di sampingku tapi terekam dengan baik di album-album itu. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari kelopak mataku. Kulanjutkan membuka lembaran-lembaran itu dengan hati-hati. Semakin aku membuka lembaran itu, semakin dalam pula tangisku. Di tengah album foto itu terdapat sebuah surat yang ditujukkan untukku dari ibu. Isinya sungguh membuatku menyesal akan segala tindakan bodoh yang kuperbuat selama ini.

Untuk : Ratna

Ratna, apa kabarmu? Mungkin ketika kamu membaca surat ini, ibu sudah tidak ada di sampingmu, ibu sudah tidak bisa menemani kamu lagi. Tidak ibu sangka waktu berjalan begitu cepat, padahal ibu merasa kemarin baru saja ibu melihat kamu belajar berjalan, baru saja ibu merasa kamu mengatakan kata pertamamu ‘bu..’, namun lihat sekarang, Ratna kecil yang selalu nakal itu telah menjadi seorang gadis remaja yang mampu berdiri sendiri, mandiri. Pertama-tama ibu ingin memohon maaf akan tamparan yang pernah kamu terima, namun tahukah kamu alasan tamparan itu? Itu kekecewaan ibu akan pertanyaanmu yang mengatakan seharusnya kamu tidak pernah lahir di dunia. Biar ibu beri tahu, Ratna, ibu dan bapak tak pernah menyesal melahirkan kau ke dunia ini. Tidak pernah sekalipun. Bagi kami, kau sumber kebahagiaan kami. Selain itu ibu sungguh minta maaf Ratna, Ibu tidak mempunyai umur yang panjang, maaf  karena ibu bukanlah ibu yang baik,

Ibu tidak bisa memberi kekuatan padamu untuk menjalani hidup ini, ibu juga minta maaf atas segala bandingan yang kamu terima karena Kakakmu. Ibu sungguh minta maaf Ratna. Ibu tahu pasti berat bagimu, untuk tinggal seorang diri, apalagi Jakarta bukanlah pilihan yang mudah. Pasti banyak masalah yang terjadi padamu.  Tapi betapa beratnya masalah itu hingga membuatmu terjatuh, ibu akan tetap berada disini menunggumu berpaling pada ibu. Kembali kepada ibu. Ibu menunggumu dengan tangan terbuka lebar, menunggumu menceritakan segala yang menimpamu, menunggu tangisan atas teriakan hatimu yang telah lama kamu pendam. Mungkin Ibu bukanlah siapa-siapa yang dapat menghapuskan masalah itu, tapi Ibu berharap Ibu dapat meringankannya. Ibu rindu kamu dan sayang kamu, Ratna. Mungkin kamu sudah bosan mendengar ini, tapi kamu mempunyai kelebihan yang tidak kakakmu miliki. Percayalah itu, Ratna dan temukanlah kelebihanmu sendiri. Ratna, ibu sudah tidak sanggup lagi untuk menulis lebih lanjut. Mungkin kita bisa berbincang nanti, ibu sangat mengharapkan itu, walau bukan saat ini. Lanjutkan hidupmu Ratna, ibu selalu mendukungmu dan menyayangimu.

Surat itu membuatku menangis semakin dalam di dalam kesendirianku. Pernah kuberpikir, kehampaanku disebabkan oleh kehormatan dan harga diri yang telah direnggut orang lain, tapi ternyata aku salah. Kehampaan ini disebabkan karena ibu tidak ada di sisiku. Kudekap album foto itu, namun  banyak kertas-kertas kusam yang terjatuh, sepertinya itu diselipkan ibu di belakang album foto itu. Itu adalah karanganku ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Karanganku akan perjuangan ibu membesarkan aku dan kakak dengan sepenuh hati tanpa ayah di samping kami. Karanganku tentang ibu yang tidak pernah  membeda-bedakan aku dengan kakakku. Karangan-karangan itu menyadarkanku betapa ibu mencintai anak-anaknya, aku, dan kakakku, karangan itu juga yang menyadarkanku akan kelebihan yang selama ini tak pernah kusadari, sehingga tak pernah kukembangkan. Ya! Menulis! Bahkan sampai akhir pun, ibu tetap membantuku, membantuku menemukan kelebihanku yang selama ini kupermasalahkan.

“Maafkan aku Ibu, aku anak durhaka. Yah, kita akan berbincang nanti di sana setelah aku melanjutkan hidupku untuk menjadi lebih baik, entah di Solo maupun di Jakarta, sebagai seorang penulis. Walau aku tak pernah mengatakan ini kepadamu, aku ingin sekali kau mendengar kataku ini di sana, di tempat yang kuyakini tempat terbaik untukmu, ibu yang paling baik,” kataku kepada surat  itu.

Akupun bangkit ke arah jendela dan membukanya.

“Aku juga sayang padamu, Ibu…” teriakku kepada langit yang menampakkan pelangi sehabis hujan itu.*

Monica Stella, Siswi SMAK Bunda Hati Kudus Jakarta

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Mei 2011 inci Cerpen Indonesia

 

Tinggalkan komentar